Darussalam.co.id - Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah mengatakan:
“Barangsiapa
memperhatikan syari’at di dalam sumbernya, maka ia akan tahu tentang
terkaitnya amalan badan dengan amalan hati. Amalan badan tidak ada
manfaatnya tanpa ada amalan hati. Amalan hati lebih wajib bagi setiap
hamba daripada amalan badan. Bukankah perbedaan orang mukmin dan orang
munafik tergantung pada hatinya, oleh karenanya ibadah hati lebih agung
daripada ibadah badan, bahkan lebih banyak, lebih kontinyu, dan lebih
wajib di setiap waktu.” (Badaa-i’ul Fawaa-id hal. 514)
Kepala
boleh sama hitam, pirang, putih atau berkerudung, tapi hati siapa yang
tahu? Lisan boleh jadi berkata bijak tapi siapa yang tahu hati
berkeinginan bejat? Bisa jadi beraktivitas dengan jam terbang tinggi
karena ingin dikenal matang? Berorganisasi ke sana-sini supaya dianggap
berkontribusi nyata? Atau sengaja berdiam diri agar populer dengan gelar
kehati-hatian bertindak? Tak ada yang tahu isi hati. Bahkan tiap-tiap
orang pun tak memiliki otoritas terhadap hatinya sendiri.
Tak ada
jaminan bahwa keistiqamahan itu bisa dilakukan hingga akhir, tak ada
garansi nikmat hidayah Allah yang telah diberikan akan terus tersimpan
di dada. Apapun mungkin yang awalnya aktif mengaji hingga di pertengahan
menjadi lupa diri hingga akhirnya tak ingat mati. Masih ada juga cela
untuk berubah yang dahulunya mafia menjadi seorang ulama. Contoh nyata
dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait
peristiwa ini adalah Ubaidillah bin Jahsy, kader generasi awal yang
menyempal dan Umar bin Khathab, preman jahiliyah yang menjadi pemimpin
kejayaan Islam.
Adanya hijab antara diri dan hati inilah menyebabkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seringkali berdoa:
“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai
Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas
agama-Mu).” Ummu Salamah pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa doa tersebut yang sering beliau baca. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menjawab,
يَا
أُمَّ سَلَمَةَ إِنَّهُ لَيْسَ آدَمِىٌّ إِلاَّ وَقَلْبُهُ بَيْنَ
أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ أَقَامَ وَمَنْ شَاءَ
أَزَاغَ
“Wahai Ummu Salamah, yang namanya hati manusia selalu berada di antara jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki, maka Allah akan berikan keteguhan dalam iman. Namun siapa saja yang dikehendaki, Allah pun bisa menyesatkannya.” (HR. Tirmidzi no. 3522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam riwayat lain dikatakan,
إِنَّ الْقُلُوبَ بِيَدِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يُقَلِّبُهَا
“Sesungguhnya hati berada di tangan Allah ‘azza wa jalla, Allah yang membolak-balikkannya.” (HR. Ahmad 3/257. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy (kuat) sesuai syarat Muslim)
Lantas
masihkah kita meremehkan perkara hati dengan dalih banyaknya amal
shalih akhirnya akan membentuk kebaikan hati? Padahal telah nyata
diterima tidaknya sebuah amal dari kondisi hatinya:
Dari
Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya
mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya.
Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena
seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang
ditujunya”. (Diriwayatkan oleh dua orang ahli hadits yaitu Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al
Bukhari (orang Bukhara) dan Abul Husain Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim
Al Qusyairi An Naisaburi di dalam kedua kitabnya yang paling shahih di
antara semua kitab hadits. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Memang
bukan perkara suci tidaknya hati tapi tentang bagaimana
mengikutsertakan Allah dalam tiap situasi. Bila hati yang peka dengan
keberadaan Rabbnya, ia akan senantiasa sadar adanya CCTV para malaikat
siap untuk mendokumentasikan dan mefloorkan di Yaumil Mizan
nanti. Dengan demikian sudah selayaknya anak Adam as menjaga hati dengan
terjaganya pandangan, menjaga hati dengan terjaganya pendengaran,
menjaga hati dengan terjaganya lisan dan menjaga hati dengan terjaganya
perbuatan tangan serta langkah kaki.
Wallahu a’lam bi showab.
Posting Komentar